Ibu masih duduk di tepi ranjang
besi tua tempat Wak Tayo terbaring ketika aku hendak berpamitan untuk pergi nonton film dengan
Lina, cewek tercantik, terpopuler di SMA Tiga
“ Bu Awan pergi dulu ya ! “
pamitku dengan perasaan tak enak
“ Kamu nggak kasihan sama
Uwakmu? Kalau ada apa – apa dengannya bagaimana? “ ujar Ibu pelan,
matanya sembab
“ Ibu lebai deh. Kan ada Ibu, ada Mas Memet. Ibu juga bisa kan telpon
atau sms jika terjadi sesuatu dengan Uwak “ sentakku
“ Ya sudah kalau begitu. Hati –
hati ! pulangnya jangan terlalu larut ya ! “ kata Ibu akhirnya, mengalah
***
Sudah beberapa minggu ini, Wak Tayo sakit dan tidak
bisa ke mana - mana selain berbaring di ranjang besi using di ruang tengah. Kami sudah membujuknya pergi periksa ke dokter tapi Wak Tayo menolak. Dalihnnya, karena tidak ingin merepotkan kami bertiga
Uwak Tayo adalah kakak ibuku.
Kata ibu, Wak Tayo tidak bisa melihat sejak dia masih kecil. Masih kata ibu, Wak Tayo kecil waktu itu mandi di sungai, tanpa disadari
mata kecil nan suci nya kemasukan air kencing
blentung sehingga sampai sekarang
tidak bisa melihat dunia. Meski tidak bisa melihat, Wak Tayo tidak mau
menggantungkan diri pada nenek, juga pada ibuku. Dia bisa memanjat pohon kelapa,
mengasah pisau – pisau dan gaman para
tetangga, membuat sapu lidi. Sapu lidi
bikinan Wak Tayo, terkenal tahan lama dan tidak mudah rusak. Singkatnya, Wak Tayo punya mata
lain yang membuat dia tak pernah kesulitan pergi ke mana – mana
Kami terutama aku kecil, berhutang banyak pada Wak Tayo. Ketika lelaki
yang aku panggil bapak pergi meninggalkan kami demi perempuan lain, Wak Tayo
jadi pahlawan kami. Wak Tayo sering memberi aku dan Mas Memet uang jika ibu sedang tidak punya uang
sepeserpun
***
Malam itu aku dan Lina menonton
fillm remaja yang ceritanya begitu romantis. Sepanjang film
berlangsung, tangan kami bertautan seolah tak terpisahkan. Aku begitu bahagia
karena berhasil mendapatkan hati Lina. Sepanjang film juga, HP sengaja aku
matikan demikian juga HP Lina
Dua jam kemudian, setelah film
usai, aku mengantar Lina pulang ke rumahnya tanpa kembali mengaktifkan HP terlebih dahulu.
Motor matik kesayanganku melaju membelah malam menuju rumah Lina kekasihku
Entah kenapa di sepanjang jalan,
penyesalan, perasaan
tidak enak tiba – tiba datang menyusup
Memoriku terlempar saat aku
masih kecil. Aku kecil, sering diajak
Wak Tayo pergi ke ladang mencari kupu – kupu dan kumbang, aku kecil juga selalu
menunggu Wak Tayo pulang membawa telur bebek pemberian Bu Haji yang biasa
menyuruh Wak Tayo bersih – bersih taman atau mengasah pisau – pisau Bu Haji
yang kebetulan punya kios daging di Pasar Trayeman. Aku juga ingat ketika
kecil, Uwak Tayo selalu melindungi jika ada teman – teman ku yang nakal
meledekku tidak punya bapak
Karena rasa sesal dan perasaan tak enak itu, begitu Lina sampai di
rumahnya, aku menambah laju kecepatan motor matik kesayanganku
Ketika perasaan tak enak itu tak
kunjung hilang, sepanjang jalan aku berzikir menyebut nama Allah, berharap perasaanku tenang kembali. Aku
bukan laki – laki cengeng. Tapi entah mengapa malam itu air mataku menetes satu
satu
Begitu sampai di rumah, aku
terkejut demi mendapati rumah sederhana
kami sudah ramai. Banyak tetangga berkumpul. Samar – samar aku mendengar
lantunan ayat suci. Dengan buru – buru, aku memarkir motor dan segera
menghambur ke dalam rumah. Kepalaku mendadak berat, tubuhku mendadak seringan
kapas di hadapan tubuh kaku Wak Tayo yang sudah ditutupi kain jarik milik ibu, mataku
berkunang – kunang sebelum akhirnya tubuhku ambruk tak sadarkan diri
Tentang
penulis : Sutono Adiwerna adalah penulis cerma dan cernak tinggal di Tegal. Cerpen cerpennya
pernah dimuat di Minggu Pagi, Cempaka, Radar, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka
dan lain – lain. Selain penulis, Sutono juga guru eskul kepenulisan dan pegiat
literasi