Rabu, 21 Agustus 2019

Tiga Jam Bersama Bumi Manusia



Di hari kemerdekaan saya memutuskan untuk menonton Bumi Manusia. Sebelum ke Tegal, saya gogling jam yang aman, jam yg terutama tidak mengganggu salat. Cek di GMC, Transmart, dan CGV pasifik. Nah yg aman adalah di pasific jam 12.30. why? Karena bocorannya 3 jam.. film terpanjang, bersaing dengan filmnya Arifin C Nor, film G 30 S. 😀

Karena hari kemerdekaan, ketika film belum dimulai, penonton yg full seat diminta berdiri menyanyikan Indonesia Raya.. Alhamdulillah

Film dibuka dengan suara berat, khas Om Iwan fals..kulihat ibu pertiwi sedang bersusah hati, air matanya berlinang, mas intan yg terkenang

Usai suara Om Iwan, giliran Iqbal alias Minke bernarasi. Gila, Iqbal yang menurutku jawa banget..

Menit menit pertama, datar apalagi pas Minke bangun kesiangan hingga tiba di rumah Annelis.

Beruntung, selanjutnya menurut saya adegan adegan selanjutnya greget. Dari mulai Minke dipecut ayahnya ( doni damara ), minke minta maaf sama ibunya ( ayu laksmi ) dll. Yg paling menguras emosi tentu saja drama di pengadilannya ( satu tentang pembunuhan ayah anne, satunya hak perwalian anne )

Jujur, baru baca karya Eyang Pram yg Cerita dari Blora waktu SMA dan Calon Arang. You know? Di rumah, saya ngoleksi hmpir 700 buku tapi gak ada yg punya eyang pram..terlalu ya?

Hal ini menguntungkan saya sehingga bisa nonton dengan nyaman. Setting, kolosalnya megah banget. Bravo mas hanung🙏

Akting Si Dewi Selebriti ( ketahuan umurnya ) Ine Febrianti menurut saya juara banget. Iqbal yg berada dibayang bayang Dilan, juga lumayan berhasil paling suka waktu Minke minta maaf sama ibunya ketika pertama kali pulang ke rumah.

Ohya menurut saya lagi, Iqbal brilian dia bisa bahasa Belanda, Basa Jawa, Bahasa Inggris dalam satu film

Pesan pesan di film yg mungkin tak sempurna bagi sebagian orang, buanyak banget. Yg paling mengesankan, Berbahagialah orang yg hidup dari keringatnya sendiri, satu satunya senjata adalah pena, saya harus mengisinya dengan tinta darah dll

Film ini 3 jam puncak konfliknya berkali kali.Terakhir, semua penonton pulang hingga kridit title yg diiringi om iwan, once dan novelis fiersa besari. Satu lagi, meski yg nonton banyak abg abg nya tapi mereka gak brisik neriakin iqbaaaalll. Penonton tegal keren pokoke😀😁

Jumat, 16 Agustus 2019

Penyesalan Awan


                Ibu masih duduk di tepi ranjang besi tua tempat Wak Tayo terbaring  ketika aku hendak  berpamitan untuk pergi nonton film dengan Lina, cewek tercantik, terpopuler di SMA Tiga
                “ Bu Awan pergi dulu ya ! “ pamitku dengan perasaan tak enak
                “ Kamu nggak kasihan sama Uwakmu? Kalau ada apa – apa dengannya bagaimana? “ ujar Ibu pelan, matanya sembab
                “ Ibu lebai deh.  Kan ada Ibu, ada Mas Memet. Ibu juga bisa kan telpon atau sms jika terjadi sesuatu dengan Uwak “ sentakku
                “ Ya sudah kalau begitu. Hati – hati ! pulangnya jangan terlalu larut ya ! “ kata Ibu akhirnya, mengalah
***
                Sudah  beberapa minggu ini, Wak Tayo sakit dan tidak bisa ke mana -  mana selain berbaring di ranjang besi using  di ruang tengah. Kami sudah membujuknya  pergi periksa ke dokter  tapi Wak Tayo menolak. Dalihnnya,  karena tidak ingin merepotkan kami bertiga
                Uwak Tayo adalah kakak ibuku. Kata ibu, Wak Tayo tidak bisa melihat sejak dia masih  kecil. Masih kata ibu, Wak Tayo kecil  waktu itu mandi di sungai, tanpa disadari mata kecil nan suci nya kemasukan air kencing blentung sehingga sampai sekarang tidak bisa melihat dunia. Meski tidak bisa melihat, Wak Tayo tidak mau menggantungkan diri pada nenek, juga pada  ibuku. Dia bisa memanjat pohon kelapa, mengasah pisau – pisau dan gaman para  tetangga, membuat sapu lidi. Sapu lidi bikinan Wak Tayo, terkenal tahan lama dan tidak mudah rusak.  Singkatnya, Wak Tayo punya mata lain yang membuat dia tak pernah kesulitan pergi ke mana – mana
                Kami terutama aku kecil,  berhutang banyak pada Wak Tayo. Ketika lelaki yang aku panggil bapak pergi meninggalkan kami demi perempuan lain, Wak Tayo jadi pahlawan kami. Wak Tayo sering memberi aku dan Mas Memet  uang jika ibu sedang tidak punya uang sepeserpun
***
                Malam itu aku dan Lina menonton fillm remaja yang ceritanya begitu romantis. Sepanjang film berlangsung, tangan kami bertautan seolah tak terpisahkan. Aku begitu bahagia karena berhasil mendapatkan hati Lina. Sepanjang film juga, HP sengaja aku matikan demikian juga HP Lina
                Dua jam kemudian, setelah film usai, aku mengantar Lina pulang ke rumahnya  tanpa kembali mengaktifkan HP terlebih dahulu. Motor matik kesayanganku melaju membelah malam menuju rumah Lina kekasihku
                Entah kenapa di sepanjang jalan,  penyesalan, perasaan tidak enak tiba – tiba datang menyusup
                Memoriku terlempar saat aku masih kecil. Aku  kecil, sering diajak Wak Tayo pergi ke ladang mencari kupu – kupu dan kumbang, aku kecil juga selalu menunggu Wak Tayo pulang membawa telur bebek pemberian Bu Haji yang biasa menyuruh Wak Tayo bersih – bersih taman atau mengasah pisau – pisau Bu Haji yang kebetulan punya kios daging di Pasar Trayeman. Aku juga ingat ketika kecil, Uwak Tayo selalu melindungi jika ada teman – teman ku yang nakal meledekku tidak punya bapak
                Karena rasa sesal dan  perasaan tak enak itu, begitu Lina sampai di rumahnya, aku menambah laju kecepatan motor matik kesayanganku
                Ketika perasaan tak enak itu tak kunjung hilang, sepanjang jalan aku berzikir menyebut nama Allah,  berharap perasaanku tenang kembali. Aku bukan laki – laki cengeng. Tapi entah mengapa malam itu air mataku menetes satu satu
                Begitu sampai di rumah, aku terkejut demi  mendapati rumah sederhana kami sudah ramai. Banyak tetangga berkumpul. Samar – samar aku mendengar lantunan ayat suci. Dengan buru – buru, aku memarkir motor dan segera menghambur ke dalam rumah. Kepalaku mendadak berat, tubuhku mendadak seringan kapas di hadapan tubuh kaku Wak Tayo yang sudah ditutupi kain jarik milik ibu, mataku berkunang – kunang sebelum akhirnya tubuhku  ambruk tak sadarkan diri




Tentang penulis : Sutono Adiwerna adalah penulis cerma dan cernak tinggal di Tegal. Cerpen cerpennya pernah dimuat di Minggu Pagi, Cempaka, Radar, Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka dan lain – lain. Selain penulis, Sutono juga guru eskul kepenulisan dan pegiat literasi
                 


                

Rabu, 07 Agustus 2019

Sugeng tindak Mbah Moen


Pertama melihat berita beliu wafat, jujur perasaan saya biasa saja. Mungkin karena saya nggak pernah tahu rasanya menjadi santri di ponpes, bisa jadi juga karena belum pernah bergabung dengan ormas NU baik IPNU maupun GP Anshor. Bisa jadi juga karena saya pribadi belum pernah melihat, mendengar tausiah beliau baik langsung maupun dari media massa baik cetak maupun elektronik. Meski begitu, saya beberapa kali share nasihat beliau dalam bentuk gambar di medsos.

Ulama Kharismatik meninggal, dan kamu nggak merasa kehilangan? menyedihkan, keterlaluan. Batin saya bicara.

Entah bagaimana muasalnya, saya membuka Intagram. Pertama yang nampak di IG saya, postingan Gus Yasin Wagub  Jateng sekaligus putera beliau. Hati saya mulai basah. Saya tarik ke bawah, saya melihat postingan Gus Miftah, Pak Hanif dll. Mata saya mulai basah. Saya tergugu ketika melihat postingan Gus Mus. Dari sana, saya meliahat Mbah Moen bilang begini "Dungo kulo sakniki namung diparingi khusnul khotimah"

Saya bengong gak tahu harus bilang apa, lama. ketika melihat postingan Ustad Yusuf Mansyur ketika beliau ( Mbah Moen ) menyentuh Hajar Aswad, sebelum akhirnya beliau wafat di Makah 

Sugeng Tindak Mbah Moen, kami kehilangan dan kami harus belajar mengikhlaskan engkau pergi selamanya.

NB..gambar dari internet 

Serunya beli buku-buku seken

 1. Buku yang kita dapatkan original dengan harga terjangkau. 2. Pernah mendapatkan buku yang edisi PO, ada tanda tangan penulisnya. 3. Pern...